Sumber: sumberarthamas.com |
Indonesia terletak diantara dua samudera dan dua benua. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai jalur lintas perdagangan yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan pamor Indonesia dalam kancah internasional. Namun, untuk berlabuh sampai disana, Indonesia perlu membenahi beberapa point penting seperti keamanan dan ketahanan negara di daerah perbatasan. Hal ini perlu dilakukan mengingat kekayaan laut kita banyak dicuri oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Oknum tidak bertanggungjawab ini memiliki sarana dan pra-sarana yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan negara kita. Alhasil, nelayan negeri kita kalah bersaing dalam mengeksploitasi dan memanfaatkan kekayaan laut Indonesia dengan maksimal.
Proses penanganan ikan pasca penangkapan sampai pengolahan menjadi masalah tersendiri bagi kebanyakan nelayan. Salah satu contohnya penanganan pasca panen membutuhkan banyak sekali es untuk tetap menjaga kesegaran ikan sampai ke tangan konsumen. Harga es yang cukup mahal membuat nelayan berputar otak dan tidak sedikit pula nelayan-nelayan tersebut menggunakan zat-zat kimia berbahaya sebagai pengganti es. Akhirnya, ikan yang dikonsumsi pun menjadi berbahaya dan membuat paradigma masyarakat luas jelek tentang perikanan.
"Kemiskinan nelayan umumnya bersifat struktural akibat keterbatasan sumber daya ikan, modal, teknologi, dan pasar, serta bersifat kultural yang dicirikan belum berkembangnya budaya menabung," kata Dirjen Perikanan Tangkap, Heryanto Marwoto. Nelayan Indonesia pun memiliki berbagai macam persoalan lainnya seperti: penangkapan yang merusak habitat lingkungan sehingga ketersediaan sumberdaya perairan tidak berkelanjutan; sanitasi pasca penangkapan sampai pengolahan yang kurang diperhatikan sehingga membuat kemunduran mutu ikan lebih cepat dari seharusnya. Kemunduran mutu ini akan menyebabkan nilai jual ikan menjadi lebih rendah; kebijakan pemerintah yang mengatur nelayan ketika pra dan pasca penangkapan; biaya retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah; dan sistem lainnya yang pada awal tujuannya ingin menyejahterakan nelayan justru pada akhirnya memberatkan dan merugikan nelayan tersebut.
Pada tahun 2004, Dr. Gunter Pauli dari ZERI (Zero Emission Research Initiatives) memprakarsai konsep Ekonomi Biru (Blue Economy). Gagasan tersebut menjelaskan tentang nilai tambah ekonomi baru melalui pengelolaan sumberdaya alam dalam skala besar. Gagasan Blue Economy ini mendapat respon sangat positif dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya “Leaders Valuing Nature” di pertemuan Rio 20 di Brazil, Juni 2012. Bapak Presiden Indonesia ini menyatakan bahwa konsep Ekonomi Biru merupakan tujuan baru untuk pembangunan di Indonesia yang berakselerasi terhadap pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan kesehatan lingkungan.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut, pemerintah pun sebaiknya merangkul masyarakat dalam mendukung bergeraknya Blue Economy Indonesia. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam merangkul masyarakat luas yaitu dengan melakukan sosialisasi, memberi pengertian, dan pencerahan kepada masyarakat tentang pentingnya perikanan. Pemerintah pun sebaiknya lebih memperhatikan kesejahteraan nelayan dan memperbaiki sarana serta pra-sarana yang mendukung mata pencarian nelayan. Selain itu, pemerintah pun dapat mengajak pemuda-pemuda Indonesia untuk berwirausaha dalam bidang perikanan. Karena, selain membuka lapangan pekerjaan, kegiatan wirausaha dalam skala besar dapat mendongkrak Blue Economy Indonesia lebih cepat dibandingkan menjadi pegawai negeri sipil yang juga bergerak dalam bidang perikanan.
Semua perbaikan ini rasanya memang ditujukan kepada pemerintah. Namun, kita sebagai individu baik pemuda generasi penerus bangsa atau nelayan yang telah mengalami pahit-manisnya hidup dalam bermatapencarian patutnya mendukung program pemerintah ini. Contohnya, nelayan dapat memanfaatkan dan menjaga sarana dan pra-sarana yang telah diberikan pemerintah. Nelayan pun bisa mengikuti program pemerintah dalam menjaga sanitasi hasil tangkapan atau pengolahan lebih lanjut pasca penangkapan. Kita sebagai generasi penerus bangsa pada umumnya dan saya sebagai mahasiswa yang bergerak dalam bidang pengolahan perairan juga harus mendukung program pemerintah dalam mewujudkan Blue Economy Indonesia. Ada banyak hal yang dapat kita lakukan yaitu memupuk sejak dini jiwa kewirausahaan dan mulai berbisnis melalui modal sendiri atau mengkuti berbagai kegiatan sepeti bussiness plan atau Pekan Kreativitas Mahasiswa dalam bidang Kewirausahaan. Awal tahun 2013 ini, saya bersama beberapa rekan saya pun menjalankan bisnis pangsit teri. Selain meningkatkan nilai jual ikan teri, pangsit yang kita konsumsi pun mengandung protein ikan yaitu asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh. Kita pun harus menerapkan bisnis dengan teknologi zero waste yaitu teknologi 3R yaitu Reduce, Reuse, dan Recycle atau pengolahan air limbah. Mata ikan dapat diolah menjadi obat-obatan karena mengandung omega-3, omega-6, kolagen, dan kondroitin. Kulit ikan dapat diolah menjadi kerupuk, kulit samak, dan tepung ikan. Sisik ikan dapat diolah menjadi aksesoris. Sirip, tulang, isi perut, dan kepala ikan dapat diolah menjadi pupuk, silase, tepung, kecap ikan, dan bekasang. Kulit dan kepala udang dapat diolah menjadi kitin kitosan, petis, penyedap rasa, pewarna, dan makanan ternak. Selain itu, sebagai pemuda yang aktif dalam jejaring sosial, seperti facebook, twitter, blog, dan lain-lain, kita pun sebaiknya melakukan kultwit atau kuliah twitter mengenai pentingnya perikanan dan memajukan Blue Economy Indonesia. Karena, tidak menutup kemungkinan followers kita tidak tahu atau bahkan acuh mengenai perikanan. Dan, semoga dengan kultwit dan sugesti yang kita berikan dapat menggugah hati orang-orang yang membacanya untuk berperan aktif dalam memajukan Blue Economy Indonesia. SEMANGAT BIRU!
NB: Diikutsertakan dalam MOVE Quiz, Media Indonesia edisi 24 Maret 2013
dapet tiket java jazz, tapi hangus karena ga ngasih ke pemberi informasi :P
ReplyDeleteyaudahlah yaa --' lah kemarin mau berbaik hati ngasih tapi katanya ga bisa dan ga mau woo
Delete